Minggu, 12 Agustus 2012

Ida Bang Manik Angkeran - Arya Wang Bang Pinatih


Para Leluhur Ida Danghyang Siddhimantra
Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM,
Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar – besarnya ke hadapan Ida
Hyang Parama Kawi – Tuhan Yang Maha Esa serta Batara – Batari junjungan dan leluhur
semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke
Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
Juga agar tidak terkena malapetaka dari Ida Sanghyang Saraswati. Semoga kami semuanya.
serta keluarga dan keturunan kami mendapatkan keselamatan. kesejahteraan sampai kelak di
kemudian hari di dunia ini.
Om Siddha rastu. Om Ksama sampurna ya namah swaha.
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama
Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau
Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta
bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun
berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat
terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung
Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi
1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta yang kemudian
menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun
pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat
putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek
Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel,
Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor
empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923
atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai,
Karangasem. Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta
kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan,
sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta
pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang
pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau
pula yang merancang keberadaan desa pakraman – desa adat serta Kahyangan Tiga – tiga pura
desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana
Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan
serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di
dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau
sesajen serta Asta Kosala – kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali.
Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
“Ida sane ngawentenang pawarah – warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama.
lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara – Bhatari ring Bali lwirnya Puseh
desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara
lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama” yang artinya: Beliau Mpu
Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan
mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan
utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-
bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata
cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau
yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan
yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di
dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng
Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal
dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang
sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan,
sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal
sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal
lka” yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang
Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja
Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki.
Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu
Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang
Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang
Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang
Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan
kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih
Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan
bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya,
diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang
Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang
Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan
sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar
Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida
Patapan. Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun
pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida
Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di
Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya
diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan,
adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali.
Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja
yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan
datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang – Arya Demung,
Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya
Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan
tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di
Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem.
Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masing-
masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di
Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya
Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan
Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet,
Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di
Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
Ida Danghyang Siddhimantra Berputra Ida Bang Manik Angkeran
Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular
yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama
Mpu Bekung karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar
Danghyang Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti
serta bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta
yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi
Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi
penerusnya kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang
Brahmakunda Wijaya.
Karena kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar
yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari tengah-tengah api
pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari
merah warna api itu. Manik dari manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan
Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal
mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan
dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak
Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau kesusahan,
ternyata kemudian putra beliau sehari-hari pekerjaannya hanya berjudi melulu, tidak pernah
tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada
perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau
berjudi tidak pernah menang. Selalu kalah saja.
Hingga habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka
cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan resah gelisah
perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desa-desa.
Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada menemui
putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak
pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga
dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di
Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah kemudian duduk seraya
bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau
yang bernama Ki Brahmara .
Karena keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara yang
demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya berkata: “Ah
Mpu Bekung yang datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya
menjadi tahu !”.
Berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang
tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu.
Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan
sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih
hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada”.
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: “Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih
hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa, bermalam di sana. Sekarang
saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa – putra Mpu, agar segera pulang kembali. Namun,
Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya mengarad putra sang Mpu”.
Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke
rumahnya .
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan
perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan
dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu
Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan
sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah – sudah. Ayah tidak sama
sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda ingat juga dengan rumah
Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk desa-desa”.
Kemudian berkatalah putranya: “Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali
palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda
tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan diri
sebagai seorang putra Brahmana”. Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran,
Setelah usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada
permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu
Pada hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju
Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan
melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau.
Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida
Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah, Mpu Bekung yang datang
Apa keinginan sang Mpu datang lagi?”.
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap
pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan
Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah”. Tatkala didengarnya kata-kata Mpu
Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa
menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan
emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar kelapa
besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan
perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa
emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya,
meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu
Ida Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu. Putra
beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada putranya. “Aduh
ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya seperti itu akan perihal ayah mendapat
emas ini. Kalau ada keinginan ananda untuk mengambil, Ayahanda berikan”. Walaupun
demikian kasih sayang beliau kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada
ayahandanya untuk diberi tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan
rasa kasih sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau
mendapatkan harta itu.
Karena sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain
judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya beliau
selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah emas yang diberikan
ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada
perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari Bhatara di
Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi – sembunyi agar tidak diketahui
ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta genta
milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu beliau
duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu,
membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata “Ah siapa anda ini
datang, segera katakan !”.
Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih paduka Sanghyang, hamba
bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba,
menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. “Demikian hatur beliau.
Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu
itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu.
Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran: “lh, Sang
Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan .”
Berkatalah Ida Bang Manik Angkeran: “Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk
memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari “.
Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan
kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: “Ambillah emas ini, segera ananda
pulang, poma, poma”. Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon
pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha,
menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak Hyang
Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali beliau
mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi. Karena itu, lalu
beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari sarinya Susu lembu, dan
menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.
Setibanya beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya,
mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu betul-
betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya bersabda: “Ah
Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa
lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan kuberikan”.
Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan,
menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa. Karena
demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang
besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara
kembali ke gua . Karena beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di
tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang
Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai
ratna mutu manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat tamak
untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang dibawanya
segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata intan yang ada di
bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik Angkeran.
Karena demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara
Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke luar gua. Dilihat
oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik Angkeran
Segera beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik
Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama
Cemara Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik
Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem Lagaan,
Bebalang, Bangli.
Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah
pulang ke rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan.
Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau putranya
sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang ditujunya, berkehendak
mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan di jalan tibalah beliau di Besakih. Di
sana beliau melihat onggokan abu, sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera
diketahui dengan jelas, bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas
sudah abu itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa
duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran
disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja.
Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak
untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya,
beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang
Basukih.
Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida
Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh suara
genta.
ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan Asta
Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta beliau. Karenanya,
barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul,
seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata:
“Om paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku
yang demikian tak berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara
menceriterakan perbuatan anak hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya
cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang
Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan.
Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran yang
mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya
dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu
Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan
sembah seraya berkata: “Singgih pukulun paduka Bhatara, demikian memang dosa anakku
itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian, habis sudah dosanya. Inggih, hamba
sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara
menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dialah anak hamba satu-satunya, sebagai
pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti
hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba
di sini sampai kelak kemudian hari”.
Mendengar hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara
seraya bersabda: “Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka rela
menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali
ekorku”.
Lalu menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan
paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun,
sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara
berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan
saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula
mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di
bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang
karena keberatan di bagian ekor”.
Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu
Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi
menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma
sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung mahkota,
dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan
memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat
Singkat ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara.
Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan
juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja
Karena itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran,
didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran bangun,
seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika sadar, beliau cepat lari.
Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Segera Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk
menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang Manik
Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai kelak di
kemudian hari.
Demikian suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan kesaktian
beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang
Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor
Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih
kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu
Bekung, memang demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian
sakti dan makbulnya japa – mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda,
namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat
karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang
menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak lupa beliau
memberikan petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: ” Uduh mas juwita
permata hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran. Ananda akan ayah tinggal sekarang ini.
Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l Dewa akan ayahanda haturkan kepada Ida
Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji ayah kepada Ida Bhatara. Mungkin ananda belum
jelas tahu perihal keberadaan ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara
sampai habis menjadi abu, disebabkan karena marah beliau tak terhingga, perilaku ananda
sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu ayahandamu ini memohon kepada
Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali ananda, dengan janji,
kalau ananda bisa hidup kembali, ananda akan ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk
mengabdi di sini di Besakih. Selain itu, kalau ananda kembali ke Jawa, jelas perilaku ananda
akan kembali seperti yang sudah-sudah, sebab lingkungan ananda di sana sudah demikian
rupa. Diamlah dan tinggal ananda di sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan ananda
salah terima dan salah paham, sebab sebenarnya, perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang
ayahanda kepada ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah
ayahanda ini yang sangat Penting, agar diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida
Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian,
menjadi ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada
lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian
disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang
ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur
dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga
agar
ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti
dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya”.
Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di
samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan
wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan upacara, di
samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang tinggi.
Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau
ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali ke
Jawa.
Tidak diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah genting – tempat perbatasan
antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung -menung. teringat beliau akan kelakuan
putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya timbul kekhawatiran dalam perasaan beliau.
seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau
berkeinginan mengupayakan bagai mana caranya agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab
janji beliau sudah demikian pasti. ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut.
Di sana kemudian beliau menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja
Bhatara di pegunungan agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu
pikiran beliau dan juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu digores
dengan tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa, lindu dan gempa
terjadi, kilat dan halilintar bertubi – tubi ! Terpisah dan putuslah kawasan Bali dengan Jawa !
Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga
sukacita Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke
Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Ki Dukuh Sakti
Belatung
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat
pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau
sehari-hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian
kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika
dibandingkan dengan sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau
melaksanakan Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci.
Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud
untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri,
berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau
seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan
rumput dan menyiangi. Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya,
namun tindak-tanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat
seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan melompat
duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik
Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas
maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: “lh
Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa yang bisa
Bapak hasilkan?”.
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: “Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak
tidak jelas tahu?”.
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau
Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di
Besakih, menjadi tukang sapu”.
Berkata lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal
keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak
punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda
ini brahmana hina”.
Sedikit marah Sang Bang berkata: “lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya
memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya
ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu
menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang
saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?”
Ki Dukuh kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa
Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini”.
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu
ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? ”
“Akan saya bersihkan !”.
“Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”
“Akan saya bakar !”
“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Wah, ini benar-benar brahmana aneh”. Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai
membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.
“Wah” demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, “kalau Bapak Dukuh masih
membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak
Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya,
melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa”
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam
diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah “Singgih, Ratu Sang Bang,
kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu,
hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak
hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu
beliau berkata perlahan: “Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan
memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan
oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi”.
“Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan
ingkar dengan janji”. Demikian hatur Ki Dukuh.
“Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar
datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak”. Demikian perjanjian Ida Sang
Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta
keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang
dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya sama-sama
paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi – pagi hari Ida Sang Bang sudah
membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi
memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga dan samadhi,
lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh
dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan
kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat benar
matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di sana beliau
mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin
Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya
mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang
menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir
terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada
kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena
merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat
itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut.
Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan
ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut”
Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas).
Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika
mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke tengah-tengah api
yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang
mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki
Dukuh yang memakai kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya
melompat juga ke api, sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga
menemui jalan terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke
Sorga Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan – penyucian oleh Ida Bang Manik
Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal
dengan gelar Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik
Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang,
Sekarang diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik
Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang,
termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada bandingnya,
bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling mencintai, disebabkan yang
satunya merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita.
Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di
Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah
dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang.
Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau
kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal
dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan
sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya
caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah
seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida
Wang Bang Banyak Wide.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Bidadari
Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan ke
sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat air serta seperangkat alat
untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari baik atau pada hari
Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik
perlahan sebab merasa senang beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta
pula di berbagai tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa
warnanya. Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai
beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling
bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara
burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah
berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih dahulu
di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu
memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu. Kemudian
beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak
ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali.
Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya
wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: “Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah
gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah
tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?”
Menjawab wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah
manusia maya, dan juga bukan manusia”.
“Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”.
“Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga”.
“Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba
melihat kecantikan paras tuan puteri”.
“Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan
orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat
orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya”. Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang
Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: “Apa yang mungkin
tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?” Menjawab Sang Bidadari:
“Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenang-senang”.
Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenang-senang. Apakah di Sorga
kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?” “Ya, memang demikian Sang Pendeta.
Di Sorga, memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang
membuat hati ini senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka atau
duka, hanya tergantung pada hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti hamba,
sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada
perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan
hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini”.
Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu kemudian
beliau berkata lagi: “Memang betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak
tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri”.
“Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba.
Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda”. Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati masing -masing sudah akrab
serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata:
“Duh Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan
hamba tidak berkenan di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan
perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut baik
sekali”.
Lalu menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan.
Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir”.
Berkata Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang
sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan
sekali Tuan Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini …. diri hamba
akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke
Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di
dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di sini”.
Menjawab Sang Bidadari: “Ya kanda, sebelum hamba menjawab keinginan kanda tersebut,
berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal kita berdua kala berada di Kendran.
Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida
Danghyang Siddhimantra, dinda sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda.
Namun setelah kanda turun ke Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka.
Lama dinda menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda
sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan kakanda,
menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau memang benar
ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi berpanjang kata, dinda
bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda berada di sini”.
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak
perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya
berkata: “Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa
yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa
sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya,
karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke
dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda
sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana
pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda,
perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan
membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat
kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui
kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda”.
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya kanda, memang sepantasnya kanda
memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah
memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta dinda
sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon
diri kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja
diutus turun ke sini ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya kanda sudah kembali
pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras
permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji kepada Ida Danghyang Siddhimantra,
ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di
sini, jadi hambalah yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak
mau ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara,
memohon agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda.
Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon
pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak lagi
menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti kelahiran kanda dahulu.
Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu dengan palungguh kanda,
seperti sekarang”.
Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang
Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan
Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?”
“Ya, semua dinda ketahui”.
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya.
Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan:
“Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda
hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan
nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang
menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang
supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau
melebur badan jasmani – stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti
oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang “.
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda lanjutkan sedikit lagi.
Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam
hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan
senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing
kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh
tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan memperlihatkan kesaktian
membakar sampah di hutan dengan memakai air kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh
untuk moksa. Sebab kalau kanda yang langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan
dianggap mendahului dan berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan
hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya”. Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau
kemudian berkata dengan manis: “Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih
bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi
tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda
menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga”.
Cepat berkata Sang Bidadari: “Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu dengan kanda
seperti ini saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka”.
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang Bidadari,
kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan
sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur,
tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang
Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai
pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada
Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan
pelajaran tatwa, pengetahuan serta kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya
Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang
cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni
- pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan tapa brata
yoga samadhi. Dari isterinya – Ni Luh Murdani, lahir seorang putera Iaki-laki, yang juga
berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang
Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida
Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat
dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan
akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena
segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi
dari Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra,
sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta
Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra Sasana
dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh
Sang Tiga.
Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang
Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat dan petuah
keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya, kelak di
kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti
masyarakat kepada beliau.
Ida Danghyang Bang Manik Angkeran Berpulang ke
Sunyaloka
Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan sebulir
padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak
boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar
beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang.
Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih,
tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan
swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih,
maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran
Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari
sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak,
dibukanya kekeb – penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu
masih seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat
itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan
menghaturkan sembah: “Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda
mengabdikan diri – bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang,
akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka”.
Sang Pandita kemudian berkata halus: “Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih
dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga
Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali
pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa
putranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra.
Bersama isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna: ” l
Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku
bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu
berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri
ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu!
Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti
menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh
ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. Demikian nasehat Ida Sang
Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-
moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan
bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya
bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa
Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung
dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh
Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lalu ada
keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang dengan kedua adiknya. Setelah
semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak Wide “Inggih, adikku berdua, yang
kanda kasihi dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang
bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau Jawa,
tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah kita pergi ke
sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui
keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun
tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang – kakek
kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang
menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga”.
Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa
dengan sangat sopan: “Inggih palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda
menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di
hati kanda. Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang,
memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke
Jawa, untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk
bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak
bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang
melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih,
seperti menjadi petuah dari ayahanda”.!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih palungguh kanda Sang Bang
Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda
kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang
bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat
meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga
tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru.
Dinda tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap
kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi,
silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan
Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang Banyak Wide berdiam, berpikir-
pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka saling mengasihi satu sama lainnya.
Kemudian beliau berkata: “Inggih, kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di
Bali agar ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan
kita di Bali ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya perkenankan
kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada
petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini bersama dinda
berdua, di mana saja mungkin kanda – dinda berdiam, kalaupun kanda – dinda menemui
kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada
keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu
Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau
satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudah-
mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan
dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak
kemudian hari”.
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan,
Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l Kakiyang”. Demikian hatur adiknya
berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya
berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa,
perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali
berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah
diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian
teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan
hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk
beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau
mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di tempat
orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon
kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana
negeri Daha itu.
Singkat ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan keadaan
negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda sekali kalau dibandingkan dengan desa
Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai
tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus -
bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti
Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari
bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil: bale panjang layaknya seperti tempat
orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian
gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu ternyata
sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar
dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat
Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di
tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk
mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung
akan hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba beliau
berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya
seraya berkata: ” Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman
warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira
Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian
ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga dan
kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !”
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti
“Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra,
ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud
tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan kakek Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang
Pendeta Siddhimantra itu”.
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida
Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda,
ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang
kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan
dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam,
mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku,
sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki
seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena
membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu ini,
semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara
tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di
kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-
Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda
janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan
“.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan
menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan
sebagai putera angkat – kadharma putera.
Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide.
Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha
mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.
BABAD ARYA WANG BANG PINATIH
Ida Bang Banyak Wide Menyunting I Gusti Ayu Pinatih
Diceriterakan sekarang, betapa bahagianya hati Ida Mpu Sedah, Ida Wang Bang Banyak
Wide – putra angkatnya disayang banar. Singkat ceritera, sekarang Ida Bang Banyak Wide
sudah berdiam di Geria Daha, di Geriya kakek beliau Ida Mpu Sedah.
Dikisahkan kemudian Ki Arya Buleteng, yang menjadi patih di Kerajaan Daha, mempunyai
seorang putri benama I Gusti Ayu Pinatih. I Gusti Ayu Pinatih, tatkala itu sudah remaja
putri, parasnya cantik nian, bagaikan Dewi Saraswati nampaknya, serta juga bijaksana dan
memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, cocok memang sebagai putri seorang bangsawan,
serta sangat dimanja oleh ayah bundanya dan semua keluarganya. Puri Ki Patih Arya
Buleteng itu tidaklah demikian jauh dari tempat tinggal Geria Ida Mpu Sedah, dan lagi pula
sering Ida Mpu Sedah beranjangsana ke Puri sang Patih. Demikian juga putra sang Mpu, Ida
Bang Banyak Wide, sering berkunjung ke Puri. Dan semakin lama semakin sering sang
teruna remaja berkunjung ke Puri, untuk menghadap kepada sang patih, namun yang paling
utama adalah untuk bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih. Lama-kelamaan semakin bersemi
cinta kasih di antara sang teruna dan sang dara, tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu diambillah I
Gusti Ayu Pinatih oleh Ida Sang Bang. Itu sebabnya marah besar Ki Arya Buleteng,
disebabkan putri beliau diambil oleh Ida Sang Bang Banyak Wide. Kemudian datanglah Ki
Arya menghadap sang Mpu, menyampaikan prihalnya beliau memiliki anak hanya sorang.
Disebabkan karena putra sang Mpu juga hanya seorang yakni Ida Sang Bang Banyak Wide,
maka menjadi sangat prihatin perasaan keduanya, dan berkehendak akan memisahkan kedua
teruna-daha itu. Tiba-tiba Ida Sang Bang Banyak Wide menghaturkan sembah di hadapan
Ida Mpu seraya mengatakan bahwa sama sekali beliau tidak mau dipisahkan dengan I Gusti
Ayu Pinatih. Kalau saja dipisahkan, tak urung mereka akan membunuh diri berdua. Itu
sebabnya beliau tak bisa berkata-kata. Kemudian berkata Ki Arya Buleteng, menjelaskan
keinginan beliau : ? Aum sang mahapandita, jikalau begitu kehendak ananda sang Mpu,
kalau menurut saya, kalau saja ananda sang Mpu mau menjadi putraku, sampai di kelak
kemudian hari, saya berikan putri saya kepada ananda Sang Bang?, demikian atur Ki Arya
Buleteng. Belum selesai perbincangan beliau berdua, segera menghaturkan sembah Sang
Bang Banyak Wide : ?Duh, beribu maaf, ayahanda Ki Arya Buleteng serta ayahanda sang
Pendeta, jikalau demikian keinginan mertua nanda, ananda menuruti kehendak mertua
hamba, dan jika nanti hamba memiliki keturunan, agar menjadi Arya.
Anugrah Ida Mpu Sedah
Semakin tak bisa berkata-kata lagi Danghyang Mpu Sedah mendengar atur putranya, namun
sang Pandita menyadari bahwa semuanya itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa, lalu
berkatalah beliau ?Ah anakku, juwita hatiku Sang Banyak Wide, nah karena sekarang ananda
berkehendak menjadi pratisentana – putera dari Ki Arya Buleteng, maka dengarkanlah ini,
tanda cinta kasihku kepadamu anakku:
?Sloka: Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam, wacanam wara widyanam,
brahmanawangsatitah, Siwatwam, pujatityasam, trikayam pansudham, kayiko, waciko
suklam, manaciko sidha pumam. Puranam tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam
maho, witing kunam purwa Daham.?
Berkatalah kemudian Ida Sang Pandita: ?Aum, Sang bang, inilah merupakan titah Yang
Maha Kuasa, berupa aturan sidhikarana yang kakek berikan kepadamu, perjalanan sejarah
dan status brahmana yang dahulu, sekarang menjadi Arya Pinatih, ini ada tanda kasihku
padamu berupa keris sebuah, bemama Ki Brahmana Siwapakarana – peralatan pemujaan
pendeta, pustaka weda, itu semua agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan bagaikan
kawitan-leluhurmu, sebagai pertambang jati dirimu sebagai Arya Bang Pinatih, yang berasal
dari brahmana dahulu. Ada nasehatku juga, kalau ada keturunan Arya Wang bang, tahu
tentang Filfasat Kedharman, kokoh melakukan tapa yoga brata, memiliki ilmu pengetahuan
yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta selalu mengupayakan ketrentraman,
menganut prilaku Brahmana Wangsa, dapat didiksa, menjadi pendeta maharesi. Ingatlah hal
ini.
Serta ada pula anugerahku, kepada mu, jika ada yang tahu tentang siapa yang membawa
pusaka itu di kemudian hari, menyucikan diri sanak saudaramu kelak, dan bila sesudah
meninggal, bilamana sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika melakukan
upacara atiwa-tiwa – palebon, berhak memakai sarana upacara seperti seorang brahmana
lepas, berhak mempergunakan padmasana, serba putih, serta segala sarana upacara sebagai
sang brahmana, pendeta.
Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana memperoleh kebahagiaan utama
memegang kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan bade
bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga
bandha, berhak dipakainya.
Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak
mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya, demikian yang berlaku pada Arya
Pinatih. Habis.
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, yang – karenanya ingatlah sampai di
kemudian hari, jika meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal
bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang
meninggal sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Jangan lupa
pada nasehatku ini.
Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari, dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar
desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung – menyembah Sanghyang Kawitan Ki
Brahmana serta Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun orangnya nista
madhya utama, janganlah ananda kadropon, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak
sahupajanjian Sanghyang Kawitan, bukan sanak saudaramu itu. Jika dia mau anapak
Sanghyang Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak saudara
denganmu, dan berhak ikut menyungsung bersama, bhatara Kawitan, walaupun jauh tempat
tinggalnya. Serta sanak saudaramu si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama lawan
patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku ini, hala tunggal, hala kabeh – satu menemui
celaka, semuanya celaka. Serta kemudian tidak bisa disupat Sanghyang Rajadewa
Kawitannya, oleh Pendeta Resi Siwa Budha, serta jika melanggar seperti nasehatku ini. OM
ANG medhalong, ANG OM mepatang, ANG UNG MANG ti sudha OM NRANG OM.
Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan
dirimu dalam mengamong kawitanmu, serta kukuh seperti nasehatku pada ananda, habis.?
Ida Bang Banyak Wide Berputra Ida Bang Bagus Pinatih /
Sira Ranggalawe
Setelah mencari hari baik, maka diselenggarakanlah upara Perkawinan Agung di Puri Ki Arya
Buleteng. Para raja-adipati, menteri-menteri serta sanak saudara se wilayah Daha semua
diundang, dan yang terutama diundang adalah Ida Pendeta Siwa Budha yang akan
memimpin upacara Pawiwahan – Pernikahan Agung itu. Tidak bisa diperpanjang lagi prihal
upacara Perkawinan itu, semua rakyat menjadi riang dan gembira. Ida Sang Bang Banyak
Wide sudah bertempat tinggal di Puri Patih Arya Buleteng, serta memakai nama Sang Arya
Bang Banyak Wide. Kemudian I Gusti Ayu Pinatih melahirkan seorang putra laki-laki,
dinamai Ida Bang Bagus Pinatih, mempergunakan nama sang ibu. Pada hari tertentu,
diceriterakan anak Ida Bang Banyak Wide diculik oleh seorang raksasa. Namun tiada berapa
lama, ditemui I Raksasa beserta putranya di sebuah goa. Saat itu Ida Bang Banyak Wide
menghunus kerisnya Ki Brahmana. Baru keris itu dihunus gemetar seluruh tubuh I Raksasa,
kemudian memohon hidup. Katanya : ?Inggih, sekarang ini agar tuanku suka memberi
hidup kepada hamba. Dan sekarang saya menaruh janji agar sampai kelak di kemudian hari
turun temurun, sepanjang hidup keturunan Tuanku, semoga tidak akan pernah dibencanai
oleh kaum Durga?. Demikian ucap I Raksasa yang bernama Buta Wilis itu, kemudian
menghilang. Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin besar, dewasa dan sudah
mengambil isteri serta memiliki putra yang bernama sama dengan nama ayahandanya. Ida
Bagus Pinatih juga bernama Pangeran Anglurah Pinatih atau Sira Kuda Anjampiani.
Demikian dulu keadaaannya di kawasan Daha.
Ida Bang Banyak Wide Membantu Raden Wijaya
Membangun Majapahit

Diceriterakan sekarang daerah Daha diserang oleh Raja Singasari serta kemudian dikuasai
oleh Singasari. Ida Bang Banyak Wide tatkala itu menjabat sebagai Demang atau Patih pada
saat pemerintahan Prabu Kertanagara tahun 1272 Masehi. Lama kemudian para menteri
yang sudah tua di Singosari semuanya diturunkan pangkatnya masing-masing diganti dengan
pejabat yang muda-muda. Saat itu patih tua Rangganata diberhentikan. Ki Arya Banyak
Wide diturunkan jabatannya ke Sumenep menjadi Adhipati Madura bergelar Arya Wiraraja.
Hal seperti itu jelas menjadi bibit tidak baik di kemudian hari.
Lalu diceriterakan Prabu Singasari menyerang Tanah Melayu, semua bala tentaranya dikirim
ke Tanah Melayu. Tatkala sang Prabu bersenang-senang di Puri, Ida Arya Bang Banyak
Wide kemudian memberikan surat sindiran kepada Raja Daha yang bernama Prabu
Jayakatwang tentang leluhur beliau yang bernama Dandang Gendis dirusak oleh sang Prabu
Singosari. Patut sang Prabhu Daha membalas dendam kepada Sang Prabu Kerthanegara.
Pemberitahuan Adipati Banyak Wide diluluskan oleh Sang Prabu Daha. Kemudian Singosari
diserang oleh Daha, tidak urung kemudian kalah Singasari.
Pada saat itu ada putra Singasari yang berama Raden Wijaya secara sembunyi-sembunyi
datang ke Madura, bermaksud bermitra dengan Adipati Madura. Sesampainya di Madura,
diadakan daya upaya, agar Raden Wijaya mau menyerahkan diri kepada Prabu Kediri. Sang
Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja akan memohonkan jabatan untuk Raden Wijaya agar
menjadi orang penting di Keraton. Kemudian Raden Wijaya agar memohon kepada Raja
agar diberikan hutan Tarik dengan alasan untuk dipakai tempat raja bersenang-senang. Ida
Bang Banyak Wide sanggup akan memberikan bala sahaya serta Raden Wijaya agar
memberitahukan kepada rakyat di Tumapel ikut membuat tempat tinggal di alas Tarik.
Singkat ceritera, hutan Tarik itu sudah diberikan, kemudian Raden Wijaya di tempat itu
membuat pasraman, kemudian diberi nama tempat itu Majapahit atau Wilwatikta
disebabkan karena banyaknya buah maja yang pahit ditemukan di sana. Disebabkan
pekerjaan merabas hutan itu dipimpin oleh Ida Bagus Pinatih, putra Ida Sang Bang Banyak
Wide atau Arya Wiraraja, maka kepada Ida Bagus Pinatih diberikan gelar sebagai Sira
Ranggalawe.
Sekarang ada daya upaya dari Raden Wijaya akan menyerang wilayah Kediri. Namun
demikian Ida Arya Wiraraja atau Arya Bang Banyak Wide memberitahu, agar menunggu
kedatangan prajutir Tartar yang juga akan menyerang Kediri. Arya Wiraraja sudah
mengadakan perjanjian dengan Pasukan Tartar akan secara bersama-sama menyerang Kediri.
Di tahun Masehi 1292, kerajaan Kediri kemudian diserang oleh prajurit Tartar dan prajurit
Majapahit yang dipimpin oleh Arya Wiraraja serta putranya Sira Ranggalawe. Ramai nian
perang itu. Tanpa disangka akhirya kalah Kediri serta Prabu Jayakatwang berhasil ditawan.
Sejak saat itu Raden Wijaya kemudian menjadi raja dengan gelar Srimaharaja Kertharajasa
Jayawardhana.
Sira Ranggalawe Memberontak
Dikisahkan sekarang Sira Ranggalawe menjabat sebagai Menteri Amanca Negara,
memerintah kawasan Tuban. Arya Wiraraja tidak diperkenankan untuk berdiam di Madura,
diperintahkan untuk bertempat tinggal di Majapahit, sebagai Tabeng Wijang Ida Prabu
Kertharajasa. Sejak saat itu Bhupati Arya Wiraraja berganti gelar, dimaklumkan di seluruh
penjuru negeri sebagai Rakriyan Mantri Arya Adikara.
Diceriterakan Ida sang Prabhu di Majapahit menyelenggarakan pentemuan besar membahas
prihal rencana penunjukan Patih Amengkubhumi. Kemudian, saat itu Ida Sang Prabu
menunjuk Sira Patih Nambi menjadi Patih Amengkubhumi. Keputusan itu kemudian
didengar oleh Sira Ranggalawe, kemudian beliau menghadap ke Kraton Majapahit, berhatur
sembah kepada Ida Sang Natha Kertharajasa, berkenaan dengan keputusan Ida Sang Prabhu,
yang sudah diumumkan di seluruh negeri yakni Ki Patih Nambi diangkat menjadi Patih
Amengkubhumi, hanyalah satu upaya yang tidak berguna, jelas negeri ini akan menjadi tidak
baik, sebab Ki Patih Nambi sudah nyata-nyata pengecut di medan laga. Yang sebenarnya
patut dipertimbangkan soal kesetiannya di medan perang hanyalah Ki Lembu Sora atau diri
beliau sendiri Sira Ranggalawe, yang patut diangkat menjabat sebagai Patih Amengkubhumi.
Itu sebabnya menjadi kacau pertemuan itu.
Diceriterakan sekarang, karena tidak dipenuhinya keinginan Sira Ranggalawe, maka
bermohon diri Sira Ranggalawe pulang menuju Puri Madura, memberitahukan kepada
ayahandanya prihal rencananya akan menyerang Majapahit, akan menantang Ki Patih
Nambi. Disebabkan karena tidak bisa lagi dihalangi keinginan anaknya Sira Ranggalawe,
maka Arya Wiraraja tiada bisa berkata lagi. Kemudian menjadi riuhlah perang yang terjadi,
bala tentara Sira Ranggalawe dihadapi pasukan dari Majapahit. Sira Ranggalawe direbut.
Akhirnya terjadilah perang tanding antara Sira Ranggalawe melawan Kebo Anabrang , yang
akhirnya keduanya meninggal di medan laga di Sungai Tambak Beras.
Kemudian adalah utusan yang menghadap ke Purinya sang ayah Sang Arya Bang Wiraraja.
Singkat ceritera, sang utusan sudah berjalan untuk menghadap Ki Arya Adikara di Puri
Tuban, serta semuanya sudah dipermaklumkan tentang sabda Raja Majapahit, serta segala
hal yang berkenaan dengan wafatnya Adipati Ranggalawe, dimana jenazahnya sudah berada
di Puri Majapahit.
Arya Adikara, setelah mendengar atur sang utusan dari Puri Majapahit, segera
memberitahukan rakyat beliau, sanak saudara sampai kepada cucunya untuk semuanya
bersama-sama menghadap ke Puri Majapahit untuk menyelesaikan tata upacara Palebon
putra beliau. Setelah selesai upacara palebon itu, Adipati Arya Adikara memohon diri dari
Puri Majapahit diiringi oleh isteri, menantu serta cucunya, kembali ke Puri Tuban.
Ida Bang Banyak Wide Memegang Kekuasaan di
Lumajang

Tidak berapa lama, Ida Sang Prabhu kemudian memberikan anugerah berupa sebagian
kawasan timur sampai ke pesisir selatan kepada Sang Arya Bang Wiraraja, disebabkan ingat
dengan perjanjiannya dahulu. Sejak saat itu Sira Arya Bang Wiraraja menjabat sebagai
penguasa di kawasan yang bernama Lumajang, diiringi oleh cucunya yang bernama Ida
Bagus Pinatih atau Anglurah Pinatih atau juga disebut Sira Arya Bang Kuda Anjampyani
pada tahun 1295 Masehi.
Lama kemudian, ketika Ida Arya Bang Adhikara berumur tua, tidak berselang lama beliau
menjabat sebagai penguasa di Puri Ksatriyan Lumajang, kemudian beliau wafat menuju
Sorgaloka. Kemudian cucu beliau. Sira Bang Kuda Anjampyani dijadikan pejabat di
Majapahit menggantikan kedudukan kakek beliau bergelar Kyayi Agung Pinatih Mantra.
Inggih, hentikan dahulu keberadaaan Ida Bang Banyak Wide di kawasan Jawa.
Para Raja di Jawa
Dikisahkan juga para raja yang berkuasa di Kerajaan Majapahit. Sri Maharaja Kertharajasa
Jawardhana yang menjadi raja pada tahun 1294-1309, digantikan oleh putranya Maharaja
Jayanegara atau Kala Gemet dari tahun Masehi 1309 sampai dengan 1328. Kemudian Bre
Kahuripan /Tribuwana Tunggadewi menjabat raja pada kurun waktu tahun Masehi 1328-
1350. Beliau kemudian digantikan oleh Sri Hayam Wuruk pada tahun Masehi 1350-1389.
Pada tahun Saka 1258 atau tahun Masehi 1336, Kriyan Gajah Mada diangkat menjadi Patih
Amengkubhumi atau Mahapatih. Kepandaran dan keperwiraan sang mahapatih demikian
terkenal sampai kelak di kemudian hari. Ada Sumpah Amukti Palapa yang dikumandangkan
oleh Kriyan Mahapatih Gajah Mada pada tahun Masehi 1336 itu. Adapun isi Sumpah
tersebut : ?Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik
telah tunduk, saya baru beristirahat.?, demikian ucapan sumpah beliau ke hadapan sang ratu
Rani Tribuwanatunggadewi. Kemudian ternyata pada tahun Isaka 1265 Bali diserang.
Demikian keberadaan Ida sang Mahapatih Gajah Mada.
Dalem Bedaulu Kalah, Ida Dalem Kresna Kapakisan
Menjadi Raja di Bali

Sekarang kembali diceriterakan perihal di Pulau Bali. Dikisahkan di Bali adalah raja bernama
Sri Gajah Waktera yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan
karena merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa
takut kepada siapapun, walau kepada para
dewa sekalipun. Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya
memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis,
bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai
Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana
- Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di
Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki
Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro.
Prihal keangkara-murkaan Sri Gajah Waktera itu, diketahui oleh raja Majapahit Singkat
ceritera, setelah Ki Patuh Kebo Iwa dikalahkan dengan tipu daya, maka diseranglah Bali oleh
Kriyan Mahapatih Gajah Mada didampingi para perwira perang seperti Arya Damar sebagai
pimpinan diiringi oleh Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang yakni Kyai Anglurah Pinatih
Mantra, Arya Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Mangun, Arya
Pangalasan serta Arya Kutawaringin.
Kemudian diceriterakan pada perang yang terjadi tahun 1343 Masehi itu, di Tengkulak
Peliatan, Raja Tapolung beserta para patihnya yang bemama Kebo Warunya dan I Gudug
Basur gugur di medan perang. Namun Ki Pasung Gengis patih utama Dalem Bedaulu dapat
ditawan.
Tiada lama kemudian Ki Pasung Gerigis menyatakan dirinya menyerahkan diri dan
berbhakti kepada Raja Majapahit, karena itu diperintahkan untuk mengalahkan Raja
Sumbawa yang bernama Dedela Natha. Akhirnya keduanya wafat di dalam perang tanding.
Sesudah Raja Bedaulu mangkat, maka Pulau Bali sunyi tidak memiliki penguasa, karena itu
timbul huru hara.
Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu Danghyang Soma
Kepakisan – sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri Kresna Kepakisan,
untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara dari Ida Mpu
Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha.
Kemudian Ida Kresna Kepakisan mempunyai putra 4 orang, laki tiga, wanita seorang. Pada
saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan
Kesejahteraan di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit,
Mahapatih Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk
dijadikan penguasa atau Dalem. Pada saat itu putra beliau yang sulung bernama Ida
Nyoman Kepakisan diangkat dijadikan penguasa di Blambangan, Ida Made Kepakisan
menjadi penguasa di Pasuruan, Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya di Sumbawa
serta yang bungsu Ida Ketut Kresna Kepakisan, dijadikan penguasa
di Bali. Oleh Mahapatih Gajah Mada, Ida Dalem Ketut Kresna Kapakisan dianugerahi
pusaka Kris Ki Ganja Dungkul, serta berkedudukan sebagai Adipati.
Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan – dari Pulau Jawa, turun di Lebih, kemudian ke arah
timur laut berkedudukan di Samprangan. Di sanalah beliau membangun Puri pada tahun
Masehi 1350. Sesudah beliau Ida Dalem bertempat tinggal di puri di Samprangan,
mahapatih beliau I Gusti Nyuhaya bertempat tinggal di Nyuhaya, sementara para
menterinya seperti Arya Kutawangin di Klungkung, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog
di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kanuruhan di Tangkas, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti,
Arya Temenggung di Patemon, Arya Demung Wangbang Kediri yakni Kyai Anglurah
Pinatih Mantra di Kertalangu, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Mataram tidak
tetap tempat tinggalnya, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem,
Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Selain dan para Arya tersebut, ada
yang
kemudian datang yakni Tiga Wesya bersaudara : Si Tan Kober, diberikan tempat tinggal di
Pacung, Si Tan Kawur diberi tempat tinggal di Abiansemal serta Si Tan Mundur berdiam di
Cacahan.
Diceriterakan Kyai Angelurah Pinatih Mantra, diberikan tempat tinggal di Kerthalangu,
Badung, menguasai kawasan Pinatih serta diberikan memegang bala sejumnlah 35.000
orang, yakni mereka yang merupakan rakyat dan Senapati Arya Buleteng. Ida Dalem Ketut
Kresna Kepakisan sudah berusia senja kemudian di
Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka pada saat mangrwa wastu simna
pramana ning wang atau tahun Isaka 1302, tahun Masehi 1380. Beliau diganti oleh
putranya Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Dalem Smara Kepakisan.
Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih Mantra, memiliki putra laki seorang, bernama Kyai
Anglurah Agung Pinatih Kertha atau I Gusti Anglurah Agung Pinatih Kejot, Pinatih Tinjik
atau I Gusti Agung Pinatih Perot. Beliaulah yang dikenal menyerang serta mengalahkan
kawasan Bangli Singharsa sewaktu pemerintahan
Ngakan Pog yang menjadi manca di sana, sesuai dengan perintah Ida Dalem Ketut Ngulesir
atau Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi penguasa tahun Masehi 1380 sampai dengan
1460. Kyayi Anglurah Pinatih Mantra sudah tua, kemudian berpulang ke sorgaloka. Kyai
Anglurah Pinatih Kertha Kejot berputra laki dan isteri pingarep bernama Ki Gusti Anglurah
Pinatih Resi, dan isteri putri I Jurutkemong bernama Ki Gusti Anglurah Made Bija serta
putra laki-laki dari sor bernama I Gusti Gde Tembuku.
Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija sudah mempunyai putra, namun
kakaknya I Gusti Anglurah Pinatih Rsi belum beristeri. Para putra Gusti Anglurah Made
Bija bernama I Gusti Putu Pahang, I Gusti Mpulaga utawi Pulagaan, I Gusti Gde Tembuku,
I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman Bija Pinatih dan I Gusti
Ketut Blongkoran. I Gusti Bija Pulagaan, sesuai perintah Ida Dalem Ketut Smara Kapakisan
kemudian menjadi Manca di kawasan Singharsa Bangli sejak tahun Masehi 1453.
Hentikan dahulu.
Anglurah Pinatih Rsi Menyunting Ida Ayu Puniyawati
Dikisahkan sekarang Ida Bang Panataran, putra Ida Wang Bang Tulus Dewa, bertempat
tinggal di Bukcabe Besakih bersama adik sepupunya yang bernama Ida Bang Kajakauh atau
Ida Bang Wayabiya.
Diceriterakan Ida Bang Panataran, mempunyai seorang putri bernama Ida Ayu Punyawati,
cantik tanpa tanding seperti bidadari layaknya, bahkan seperti Sanghyang Cita Rasmin yang
menjelma. Banyak para penguasa dan pejabat yang melamar, namun tidak diberi.
Karena sudah terkenal di seluruh pelosok negeri tentang kerupawanan beliau Ida Ayu
Punyawati, maka hal ini didengar juga oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi di Puri
Kerthalangu, Badung. Kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi mengirim utusan untuk
melamar Ida Ayu Punyawati.
Yang ditugaskan untuk melamar Ida Ayu Punyawati, adalah adik disertai para kemenakan
beliau yang bernama I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Putu Pahang, I Gusti Jumpahi. Itulah
keponakan yang diutus, bagaikan Baladewa Kresna dan Arjuna, demikian kalau
diperumpamakan, diiringi oleh bala rakyat yang jumlahnya cukup banyak mengiringkan.
Tidak diceriterakan di tengah jalan, akhirnya sampailah di Geria Ida Bang Sidemen
Penataran kemudian melakukan pembicaraan. Prihal lamaran itu diajukan seperti ini :
?Inggih Ratu Sang Bang, kami datang kemari hanyalah utusan dari Ki Arya Bang Pinatih,
yang beristana di Kerthalangu kawasan Badung, yang merupakan paman kami, yang
bermaksud untuk melamar puteri palungguh I Ratu akan dijadikan permaisuri?.
Kaget Ida Bang Panataran, seperti gugup tak bisa berkata-kata, kemudian menjawab:
?Saya sama sekali tidak mengerti dengan maksud Ki Arya Pinatih, karena tidak boleh sang
Arya melamar sang Brahmana” Demikian ucap Ida Bang Sidemen Panataran.
Menjawab sang utusan I Gusti Gde Tembuku serta Gusti Putu Pahang :
?Ah bagimana rupanya ratu Bang Sidemen, mungkin tiada ingat dengan nasehat leluhur
dahulu? Hamba berani melamar putri tuanku Bang Sidemen ke sini, karena kawitan hamba
dahuhi sesungguhnya adalah wangsa Brahmana. Sekarang mohon didengar atur hamba agar
merasa pasti. Pada saat dahulu ada nasehat dari leluhur hamba, yang bernama Ida Bang
Banyak Wide, bersaudara dengan Ida Bang Tulus Dewa serta Ida Bang Kajakauh. Ida Bang
Banyak Wide pergi dari Besakih guna mencari kakeknda Ida Sang Pandya Siddhimantra di
Jawa, namun tidak dijumpainya, kemudian benjumpa dengan Ida Mpu Sedah, dan
kemudian belakangan dijadikan menantu oleh Ki Arya Buleteng. Karena Ki Arya Buleteng
tidak memiliki keturunan langsung atau sentana, maka Ida Bang Banyak Wide dijadikan
sentana Ki Arya, sehingga Ida Bang Banyak Wide menjadi Arya. Ida Bang Banyak Wide itu
merupakan leluhur kami yang menurunkan Ki Arya Pinatih Rsi”. Demikian halnya dahulu.
Nah, sekarang ini bagaimana Sang Bang Sidemen, apakah tidak ada ceritera dari Leluhur
seperti itu? Demikian hatur I Gusti Gde Tambuku. Segera ingat Ida Sang Bang Sidemen,
pada nasehat dari sang leluhur kepada beliau, pada saat dulu.
Karena mendengar hal itu, maka diberikanlah putri Ida Bang Panataran Sidemen kepada Ki
Arya Bang Pinatih, dan dengan segera mau bersama menjadi Arya Ksatrian.
Demikian pula Ida Bang Panataran menjadi Arya : Arya Bang Sidemen diwariskan sampai
sekarang turun temurun bersaudara dengan Arya Bang Pinatih.
Ida Bang Wayabiya, saat itu juga datang menghadap kakaknya berkehendak untuk melamar
putri Ida Bang Panataran Sidemen yakni Ida Ayu Puniyawati. Karena
sudah didahului oleh Ida I Gusti Anglurah Pinatih Rsi, lamaran itu tidak bisa dipenuhi. Itu
sebabnya kemudian Ida Bang Wayabiya kemudian pergi tanpa pamit dari Besakih, tanpa
tujuan. Perjalanan Ida Bang Wayabiya akan diceriterakan nanti.
Kembali sekarang dikisahkan Ki Arya Bang Panataran, sudah selesai perbincangannya
dengan Ki Arya Bang Pinatih, sebab semuanya memang benar menjaga nama
leluhurnya. Karena sudah selesai perbincangan itu, kemudian Ki Arya Bang Pinatih bertiga
memohon diri, pulang menuju Kerajaan Kerthalangu. Sesudah selesal pembicaraan mengenal
han baik berkenaan dengan rencana pemikahan itu, kemudian diselenggarakanlah upacara
Pawiwahan itu seraya mengundang semua peng?asa serta rakyat dan warga.
Tentram wilayah Pinatih ?pada saat pemerintahannya I Gusti Ngurah Pinatih Rsi serta
adiknya Ida Gusti Ngurah Made Bija Pinatih.
Hentikan dahulu.
Diceriterakan kemudian sesudah beristerikan Ida Ayu Puniyawati, kemudian lahir putra
beliau, yang sulung bemama Kyai Anglurah Agung Gde Pinatih , adiknya Kyai Anglurah
Made Sakti, serta yang wanita bemama I Gusti Ayu Nilawati. Lama juga Kyai Anglurah
Bang Pinatih Rsi bersama adiknya Kya Anglurah Pinatih Bija memegang kekuasaan di
wilayah Jagat Kerthalangu, Badung, tentram wilayah itu, serta sang raja dipuja dengan taat
oleh rakyat dan warga semuanya. Wilayah itu menjadi makmur, hama menjauh, mereka
yang ingin berbuat jahat tidak berani. Inggih, demikian keadaannya di kawasan Kerthalangu.
Kyayi Kenceng Meminta Putra Dalem di Puri Gelgel
Diceriterakan Ki Arya Kenceng di Badung berkehendak akan memohon seorang putra
Dalem Sagening di Puri Gelgel, akan dijadikan penguasa di kawasan Badung.
Konon setelah sampai di jabs tengah atau halaman dalam Pun Gelgel di Sumanggen, terlihat
oleh Ki Arya Kenceng api bagaikan lentera di Sumanggen, kemudian diperhatikan oleh Ki
Arya Kenceng, sudah pasti hanya dia itu adalah putra Dalem Segening. Kemudian Ki Arya
Kenceng mengambil kapur. seraya digoreskan menyilang atau dibubuhi tampak dara anak
kecil itu. Keesokan hannya diingat kembali , karena dia itu memang betul putra Dalem yang
bernama I Dewa Manggis Kuning. Kemudian Ki Arya Kenceng datang menghadap berhatur
sembah kepada Ida Dalem seraya mengatakan untuk memohon putra beliau seorang, akan
dijadikan penguasa di negara Badung. Ida Dalem merasa senang dan memberikan putranya
yang dimohon itu, yang bemama I Dewa Manggis Kuning, dan kemudian diiringkan pulang
ke Puri Badung. Sesudah diberi tempat di Badung, sangat disayang oleh Ki Arya Kenceng,
disebabkan karena kebagusan rupanya, ganteng seperti Arjuna,
dan bagaikan Sanghyang Asmara yang menjelma di Puri Pamecutan.
Ki Arya Kenceng Memohon Putri Anglurah Pinatih Rsi
Diceritakan Ki Arya Kenceng memiliki seorang putera laki ? laki bernama I Gusti Ngurah
Pemecutan, dipertunangkan dengan putri Ida Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi yang
menjadi penguasa di istana Puri Kerthalangu. Putrinya bernama I Gusti Ayu Nilawati. Paras
rupanya sangat cantik tanpa tanding bagaikan Dewi Ratih yang menjelma ke dunia.
Diceritakan kemudian sang putri sudah masuk ke Puri Pemecutan, namun belum diupacarai
menurut tata cara upacara perkawinan dengan I Gusti Ngurah Pemecutan. Pada saat malam
tiba, dilihatlah oleh sang putri I Dewa Manggis, yang menyebabkan jatuh hatinya I Gusti
Ayu Nilawati serta pada akhirnya dapat beradu asmara. Karena demikian halnya, bukan
alang kepalang marahnya Ki Arya Kenceng, berkehendak akan merebut I Dewa Manggis.
Hal itu kemudian diketahui oleh Kyai Anglurah Pinatih Resi. Bila saja I Dewa Manggis
terkena bencana, tidak mustahil putrinya juga akan meninggal. Saat itu kemudian Kyai
Anglurah Pinatih Resi memakai busana wanita, menyerupai selir, lalu masuk ke rumah yang
didiami oleh I Dewa Manggis, kemudian I Dewa Manggis digulung tikar, kemudian dibawa
keluar puri.
Karena berupa seorang wanita, maka tak seorangpun hirau, sehingga I Dewa Manggis bisa
dibawa ke Purinya Ida Kyai Anglurah Pinatih Rsi, bersama putri beliau.
Baru sehari disembunyikan di Puri Kerthalangu, diketahui oleh Kyai Kenceng, dikatakan
bahwa Ki Arya Agung Pinatih Rsi menyembunyikan putrinya bersama I Dewa Manggis,
kemudian mendatangi Puri Kerthalangu. Segera tahu Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, itu
sebabnya segera I Dewa Manggis Kuning dan putrinya dilarikan ke purinya I Gusti Putu
Pahang.
Sampai disana masih juga diketahui oleh Ki Arya Kenceng, maka dikepung dengan bala
pasukan yang jumlah cukup banyak. Kembali I Dewa Manggis Kuning digulung dengan
tikar, ditaruh di depan rumah, ditindih dengan selimut. Kemudian datang pasukan
pemecutan mencari kesana kemari sampai kedalam rumah, namu tidak juga ditemukan I
Dewa Manggis. Karena itu kembalilah pasukan itu ke Puri Pemecutan.
I Dewa Manggis Mengambil Istri : I Gusti Ayu Nilawati
dan I Gusti Ayu Pahang
Setelah malam, I Gusti Pahang bertimbang rasa dengan I Dewa Manggis Kuning : ? Aum I
Dewa Manggis anakku I Dewa, merasa sulit bapak menyembunyikan I Dewa disini.
Sekarang lebih baik I Dewa berpindah tempat dari sini, sebab bapak malu dengan Ki Arya
Kenceng. Dan lagi bapak sangat mengasihi ananda I Dewa, agar I Dewa bisa meneruskan
hidup ? panjang umur. Ini ada anak bapak seorang, agar mendampingi ananda dipakai isteri.
Putri bapak ini bernama I Gusti Ayu Pahang?. Demikian hatur I Gusti Putu Pahang
disaksikan oleh ayahandanya Ki Arya Bija Pinatih. Kemudian dijawab oleh I Dewa Manggis
dengan rasa penuh prihatin : ? Aum ayahanda Ki Arya Pinatih, sangat besar rasa kasihan
Ayahanda kepada saya, tidak akan bisa saya membayar pihal kasih sayang Ayahanda kepada
diri saya ?.

Wilayah Kerthalangu Tentram dan Kertaraharja
Diceritakan kembali Kyai Anglurah Pinatih Rsi sudah berusia lanjut, kemudian berpulang ke
Sorgaloka. Demikian juga Ida Kyai Anglurah Made Bija, juga sudah meninggalkan dunia
fana? ini. Kyai Anglurah Pinatih Rsi kemudian digantikan oleh putranya memegang
kekuasaan, yang bernama sama dengan ayahandanya yakni I Gusti Anglurah Agung Gde
Pinatih Rsi disertai oleh adiknya I Gusti Anglurah Made Sakti Pinatih, didampingi oleh
paman beliau dari para putra Kyai Anglurah Made Bija seperti
I Gusti Gde Tembuku,
I Gusti Putu Pahang,
I Gusti Nyoman Jumpahi,
I Gusti Nyoman bija Pinatih,
I Gusti Nyoman Bona,
I Gusti Benculuk serta
I Gusti Ktut Blongkoran.
Banyak memang keturunan Kia Arya Pinatih ketika beristana di Kerthalangu, tidak bisa
dihitung jumlahnya. Semasa pemerintahan beliau berdua tidak ada orang lain yang berani
bertingkah, semuanya besembah sujud, serta tentram wilayah itu semasa kekuasaan I Gusti
Ngurah Gde Pinatih beserta I Gusti Ngurag Made. Tidak ada manusia yang beranai, subur
makmur kawasan itu jadinya serta sejuk keadaannya karena sang penguasa sangat welas asih
suka memberi serta tiada pernah lupa menghaturkan sembah baktinya kepada Yang Maha
Kuasa. Itu sebabnya wilayah beliau menjadi tentram dan kertaraharja.
Lama beliau berkuasa di kawasan Pinatih Badung, menjadi tertib kerajaan Kerthalangu yang
bernama Kawasan Pinatih, sebab Pinatih lah yang memegang kekuasaan disana.
Patut diketahui Ida I Gusti Anglurah Gde Pinatih mempunyai putra banyak yakni I Gusti
Ngurah Gde Pinatih ? sama namanya dengan sang ayah,
I Gusti Ngurah Tembawu,
I Gusti Ngurah Kapandeyan,
I Gusti Ayu Tembawu,
I Gusti Bedulu,
I Gusti Ngenjung,
I Gusti Batan,
I Gusti Abyannangka,
I Gusti Miranggi,
I Gusti Celuk,
I Gusti Arak Api,
I Gusti Ngurah Anom Bang,
I Gusti Ayu Pinatih,
I Gusti Balangsigha.
Adik beliau I Gusti Ngurah Anglurah Made Sakti mempunyai putra:
I Gusti Putu Pinatih,
I Gusti Ngurah Made Pinatih,
I Gusti Ngurah Anom,
I Gusti Ngurah Mantra,
I Gusti Ngurah Puja.
Saudara sepupunya I Gusti Putu Pahang mempunyai putra
I Gusti Putu Pahang ? sama dengan nama sang ayah,
I Gusti Made Pahang,
I Gusti Ayu Pahang ? yang diambil oleh I Dewa Manggis Kuning, serta
I Gusti Nyoman Pahang.
Demikian keadaanya dulu.
Dukuh Sakti Pahang Mapamit Moksa
Dikisahkan sesudah lama Kyai Anglurah Agung Gde Pinatih memegang kekuasaan di
wilayah Pinatih, datanglah masa tidak mengenakkan. Ada anggota masyarakat beliau yang
dipakai sebagai mertua bernama I Dukuh Pahang atau I Dukuh Sakti. I Dukuh Sakti
memang seorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, ahli dalam ilmu sastra yang
mahautama, paham tentang Catur Kamoksan atau jalan Moksa yang empat, serta Falsafah
menuju Kematian atau Tattwa Pati. Suatu saat I Dukuh menghadap kepada I Gusti
Anglurah Pinatih :
?Aum Ki Arya Agung Pinatih, hamba sekarang memohon diri kepada tuanku, akan pulang
ke Sorgaloka, akan moksah?.
Karena demikian kata I Dukuh, menjadi marah Kyai Anglurah Pinatih, serta berkata :
?Uduh Kaki Dukuh, seberapa besar karya yang Ki Dukuh sudah buat sehingga bisa
mengatakan akan moksa ?. Saya saja yang begini, menjadi penguasa, banyak memiliki rakyat,
kokoh membangun kebaikan, tidak bisa melakukan moksa. Sekarang kalau benar seperti
yang dikatakan Dukuh yakni akan pulang ke dunia sana dengan moksa, saya akan berhenti
menjadi penguasa di negara Badung?.
Baru saja demikian kata Kyai Anglurah Pinatih, segera Ki Dukuh berkata :
“Aum Kyai Anglurah Agung Pinatih, sebagai ratuning Jagat Kerthalangu, janganlah I ratu
berkata demikian kepada hamba !. Memang benar hamba bisa moksa, ini simsim hamba
bawa agar tuanku tidak kabjrawisa !”
?Ah masa aku kurang apa. Sekarang kapan sira Dukuh akan melakukan moksah ??.
menjawab sira Dukuh :
?Inggih, pada hari besok hamba akan pulang moksa, pada saat sang Surya tepat? diatas
kepala?. Demikian atur sira Dukuh.
Karena sudah pasti janji I Dukuh akan moksa, kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih
memberitahukan kepada para bala dan menterinya semua agar mengawasi di rumah Ki
Dukuh, serta agar membawa tongkat, kalau ? kalau sira Dukuh dengan tongkat itu.
Demikian perintah Ida Kyai Aglurah Agung Pinatih kepada rakyatnya semua.
Pada keesokan harinya, semua bersiap, bala pasukan serta para menteri menuju tempat
kediaman sira Dukuh. Sesampainya disana dilihat sira Dukuh sedang menggelar yoga
samadhi, menghadapi pedupaan. Sesudah masak betul yoganya, kemudian Ki Dukuh
menyampaikan sapa kutukan bagi Kyai Anglurah Agung Pinatih :
?Inggih Kyai Anglurah Agung Pinatih, ratuning wilayah Kerthalangu, Jhah Tasmat ? semoga
Kyai Anglurah Pinatih dirusak semut !?.
Sesudah menyampaikan sapa kutukan itu, Ki Dukuh masuk ke pedupaan besar itu, lepas,
hilang tidak kelihatan lagi Ki Dukuh. Memang benar Ki Dukuh moksa tidak kembali lagi.
Inggih hentikan dahulu sampai disini.
Sesudah itu, merasa kagum takjub rakyat Kyai Anglurah Agung Pinatih, memang benar Ki
Dukuh moksa, kemudian disampaikannnya kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih prihalnya
sira Dukuh. Saat itu Kyai Anglurah Agung Pinatih berdiam diri, berpikir dalam hatinya,
terlanjur mengeluarkan kata ? kata tidak baik.
Kyai Pinatih Berpindah Tempat Dari Kerthalangu
Sesudah satu bulan tujuh hari lamanya, datanglah ciri Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi
didatangi semut tak terhitung banyaknya merebut, ada dari bawah, dari atas, jatuh
berkelompok ? kelompok. Itu sebabnya merasa gundah hati Kyai Anglurah Agung Pinatih
beserta para isteri, putra, cucu semuanya. Karena demikian
keadaannya, kemudian diadakan pertemuan dengan sanak saudara semuanya, berencana
akan berpindah dari Purian, menuju Pura Dalem Paninjoan. Sesampainya disana, kemudian
diberitahukan semua rakyatnya untuk membuat Taman dikitari dengan telaga, telaga itu
dikelilingi api, ditengahnya telaga barulah dibangun tempat peraduan. Namun masih saja
dicari, direbut oleh semut, berbukit ? bukit tingginya kemudian jatuh di tengahnya taman
itu.
Karena itu halnya, kembali Kyai Agung Pinatih menyelenggarakan pertemuan, bertukar
pikiran dengan saudaranya semua serta didampingi oleh rakyatnya. Semuanya merasa
masgul, kemudian meninggalkan Pura Dalem Paninjoan, berpindah lalu berdiam diri di
sebelah timur sungai, diiringi rakyatnya semua. Tentu saja Kyai Anglurah Agung Pinatih
berpikir tentang kedigjayaan sira Dukuh. Kemudian beliau merencanakan akan berpindah
dari tempat itu, serta diberitahukan kepada balanya, siapa yang sanggup menjaga Pura
Dalem itu, boleh tidak mengiringkan Kyai Anglurah Pinatih. Kemudian segera matur
anggota masyarakat beliau yang bernama Ki Bali Hamed, ia akan menuruti kehendak beliau
untuk menjaga Pura? Dalem itu. Pada saat itu I Gusti Tembawu menyatakan tidak bisa
mengikuti keinginan ayahandanya, demikian juga I Gusti Ngurah Kepandeyan, yang pernah
berpaman dengan I Dukuh, dan karena memang tidak baik dalam hubungan bersanak
saudara, karena sudah terlanjur bertempat tinggal disana serta memperoleh kebaikan di
wilayah Intaran. Usai sudah perbincangan diadakan, kemudian diputuskan hubungan
pasidikaraan dengan I Gusti Tembawu dan I Gusti Kepandeyan.
Disebabkan karena masih juga diburu oleh semut, kembali beliau beralih tempat bersama
menuju Geria milik Ida Peranda Gde Bendesa dan di tempat tinggal Ida Peranda Gde
Wayan Abian, seperti para putranya semua, yang ada di Kerthalangu, ke Padanggalak, disana
Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal diiringi rakyatnya semua.
Penuh sesak disana di pinggir sungai Biaung, disana Kyai Anglurah Agung Pinatih
menghaturkan rakyat 60 KK kepada Ida Peranda berdua. Ida Peranda berdua merasa senang
hati mendapatkan warga itu semua yang handal didapatkan oleh beliau Ida Peranda, yang
bernama Ki Bendesa Kayu Putih, Macan Gading, I Pasek Kayu
Selem, semua bertempat tinggal di Tangtu. Di sana kemudian ada perjanjian Kyai Anglurah
Agung Pinatih di hadapan Ida Peranda berdua, menyatakan sudah putus hubungan
kekeluargaan dengan I Gusti Tembawu, sebab sudah berumah di I mangku Dalem
Tembawu.
Karena demikian yang didengar oleh I Mangku Dalem Tembawu lalu dibalaslah pernyataan
Kyai Anglurah Agung Pinatih. Katanya :
?Mudah ? mudahanlah yang membawa pusaka keris yang bernama I Brahmana serta tumbak
yang bernama I Baru Gudug, pada saat menyelenggarakan upacara ala ataukah ayu, jika tidak
ada I wong Tembawu, mudah ? mudahan tidak berhasil upacara itu?.
Dibalaslah oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih :
?Mudah ? mudahab I wong Tembawu itu kaya dengan pekerjaan?. Demikian pernyataan
Kyai Anglurah Agung pinatih.
Kemudian I Gusti Tembawu dipakai menantu oleh I Mangku Dalem Tembawu. Setelah itu
Kyai Anglurah Agung Pinatih disertai oleh adiknya serta sanak saudaranya semua memohon
kepada Ida Peranda berdua, akan membangun Panyiwian di ujung desa Biaung, dinamai
Pura Dalem Bangun Sakti, disungsung oleh rakyatnya yang ada si Biaung. Ida Peranda
berdua dengan senang hati memberikan restu untuk hal itu. Disana kemudian Ida Peranda
berdua berdiam membuat Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik Batur dan Kentel Gumi,
untuk wilayah Padanggalak. Hentikan dahulu.
Diceritakan kembali setelah beberapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal
di Padanggalak, kembali direbut semut. Karena itu kembali beliau berpindah tempat menuju
Alas Intaran ? Mimba semuanya. Tidak berapa lama disana, ada lagi cobaan dari Yang Maha
Kuasa, ada ikan Aju datang dari tengahnya laut, semuanya terhempas ke pantai tidak
terbilang banyaknya. Itu sebabnya kemudian orang di Intaran segera membuat tembok
dengan pohon pepaya, diperintahkan oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Memang
merupakan cobaan dari Hyang Widhi, tembok itu ditubruk oleh ikan itu dihempas ?
hempas? hingga rusak, itu sebabnya banyak bangkai ikan di tepi pantai sampai ke tengah
hutan. Kemudian datanglah semut merebut bangkai ikan itu. Semakin banyak semut itu
datang, serta ikan itu berulat, baunya sangat busuk. Itu sebabnya menjadi gundah orang
disana, dan kelak kemudian hari tempat itu dinamai Ajumenang.
Karena semuanya merasa gundah, merasa tidak tahan dengan bau ikan yang sangat busuk
itu, banyak anggota masyarakat yang ada di Intaran berpindah kesana kemari mencari
perladangan. Ada yang mencari tempat di Kepisah, ada di Pedungan, di Tegal, di Glogor
Carik, di Seminyak, memohon diri kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih.
Karena demikian keadaannya, semakin masygul hati Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, serta
menyesali diri, karena sudah terlanjur menyampaikan pernyataan tidak baik, tidak boleh
berkata sumbar, sangat berbahaya dikatakan, dan hal itu sudah menjadi bukti, buahnya
dipetik sekarang.
Singkat ceritera, Kyai Anglurah Agung Pinatih, kemudian memohon diri kepada Ida
Peranda berdua, akan beralih tempat ke wilayah Blahbatuh, semuanya dengan rakyatnya.
Bagaikan bibit pepohonan yang besar yang ditimpa panas membara serta angin ribut rasanya,
karena itu berpencar para putranya, juga saudaranya I Gusti Ngurah Anom Bang yang
dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing di Blahbatuh. Sejak saat itu putus pula hubungan
pasidikara. I Gusti Blangsinga, pergi tanpa tujuan seraya membawa pusaka. Entah berapa
lama berdiam di Blahbatuh, kembali ada semut yang datang, kembali beralih tempat dari
sana menuju desa Kapal. Di Kapal, karena tempat disana sempit untuk banyak orang,
sehingga bisa berjejal disana, maka Kyai Anglurah Agung Pinatih mengutus I Gusti
Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi, untuk mencari tempat, yang
kemudian pergi menuju ke arah timur, ditemuilah hutan perladangan yang cukup luas
bernama Huruk Mangandang juga disebut Pucung bolong. Disebelah utaranya adalah
wilayah Dewa Gede Oka dari Tama Bali dan sebelah timurnya adalah sungai Melangit
namanya. Prihal tempat itu dipermaklumkan kepada I Gusti Ngurah Agung, kemudian
dilanjutkan gotong royong membersihkan hutan tersebut. Dalam perjalanan merabas hutan
ada tempat ditemukan salah satu yang agak angker, lalu ditempat tersebut dibangun tempat
persembahyangan sekarang bernama Pura Dalem Agung, yang merupakan sungsungan Desa
Adat.
Pada Utama Mandala? ada Pelinggih berjejer menghadap kebarat paling Utara disebut
Pelinggih Dalem Muku, Dalem Pande dan Dalem Dura. Kemudian melanjutkan perjalanan
keutara lalu menetap dan membangun tempat tinggal atau Puri termasuk juga membangun
Tempat Suci atau Parhyangan, sebagai tempat untuk memegang wilayah dan parhyangan
Sthana Ida Bhatara Kawitan. Tempat Pemujaan dulu bernama Pemerajan Agung Pinatih dan
sekarang bernama
?Pura penataran Agung Pinatih? di puri Tulikup,
yang merupakan tempat tonggak sejarah yang harus diingat oleh seluruh warga besar Arya
Wang Bang Pinatih.
Disamping itu Pura Penataran Agung Pinatih menjadi satu dengan Dang Kahyangan Pura
Sakti pada Utama Mandala termasuk Pemedel Ageng juga satu. Sehingga menetap di Puri
Tulikup bersama keluarga besar dan putra ? putri beliau berdua dikelilingi oleh rakyat serta
sanak saudaranya. Sesudah baik keadaan Huruk Mangandang, sejak itu disebut dengan
Pradesa Tulikup utawi Talikup dan sekarang bernama Desa Tulikup.
Diceritakan kembali I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang
Buncing, diputuskan hubungan pasidikaraannya oleh keluarganya, namun masih kokoh kuat
natad ? membawa kalingan ? keluhuran beliau, sebagai warga Pinatih, walaupun sudah
dipatah ? putuskan pasidikaraannya. Setelah berputera, kemudian I Gusti Ngurah Bang
beralih tempat ke desa Batubulan, putranya masih di Blahbatuh. I Gusti Bang mengambil
istri putri dari I Dewa Batusasih , mendapatkan putra, bernama I Gusti Putu Bun bertempat
tingga di Batubulan, I Gusti Made Bun pindah ke desa Lodtunduh, ayahnya masih di
Batubulan, didampingi oleh putranya yang lain bernama I Gusti Putu Bija Karang, adiknya
yang bernama I Gusti Bija Kareng mengungsi ke wilayah Peliatan, Krobokan, juga adiknya
yang dua lagi I Gusti Bawa serta I Gusti Bija bertempat tinggal di Dawuh Yeh serta Dangin
We. Kemudian I Gusti Bawa pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun
sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung Atad. Ada juga sanak saudara beliau yang
berpindah tempat menuju kawasan Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam di Bebandem.
Hentikan dahulu.
Ada ceritanya putra Ki Arya Bang Pinatih yang bernama I Gusti Ketut Bija Natih kemudian
menurunkan Ketut Bija Natih, masih di wilayah Kerthalangu, menjadi pemangku di Dalem
Kerthalangu, lalu ada yang berpinda ke arah selatan, ada di Bukit, ada di Jimbaran, di
Ungasan serta Umadwi. Demikian ceritanya dahulu.
Entah berapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi memerintah Puri Tulikup bersama
adiknya, ternyata kemudian pecah persaudaraannya dengan adiknya Kyai Anglurah Made
Sakti. Halnya seperti dibawah ini.
Cokorda Nyalian Memperluas Wilayahnya
Diceritakan Cokorda Panji Nyalian berkeinginan untuk memperluas wilayahnya. Kemudian
datang dia ke Uruk Mangandang mempermaklumkan sebagai utusan Dalem yang
berkehendak agar Kyai Anglurah Pinatih menghadap kepada Dalem di Gelgel semuanya,
diiringi oleh rakyat, para putra dan cucu, karena ada hal penting yang hendak dititahkan
oleh Ida Dalem.
Pada saat itu diadakan pertemuan dengan sanak saudara, yang berkemukan seperti sang
kakak dan sang adik. Kesimpulan pertemuan itu, sang kakak akan melaksanakan perintah
Dalem. Saat itu berkata sang kakak Kyai Ngurah Gde Pinatih kepada adiknya Kyai Ngurah
Made Sakti :
?Bila adinda tidak akan mengikuti kanda, kakanda akan menghadap kepada Dalem,
walaupun adinda memohon diri kepada kakanda, dan walaupun nanti adinda akan
bertempat tinggal jauh, agar jangan sekali ? sekali lupa bersaudara di kelak kemudian hari?.
Kemudian berkata adiknya : ?Uduh, kakandaku, dinda menuruti kata ? kata kanda?.
Setelah usai pertemuan tiu, kemudian dibagi dua milik beliau berdua seperti pusaka sampai
dengan rakyat. Beliau sang kakak Kyai Anglurah Agung Pinatih membawa Keris Ki
Brahmana serta tumbak yang bernama I Barugudug. Adiknya Kyai Ngurah Made Sakti
membawa segala perlengkapan pemujaan, seperti pasiwakaranaan serta pustaka.
Sesudah itu, karena Kyai Anglurah Agung Pinatih masih sangat hormat dan bakti kepada
Daalem, maka sekalian bersama ? sama pergi menuju Puri Suwecapura diiringi olah sanak
saudaranya serta rakyatnya. Kyai Anglurah Made Sakti, kemudian menuju arah barat, diikuti
juga oleh saudara ? saudara, cucu semuanya serta rakyat, dan tidak diceritakan di perjalanan,
akhirnya sampai di Jenggalabija. Pada saat itu paman beliau I Gusti Gde Tembuku
kemudian pindah dari Tulikup menuju Buruan terus ke Pliatan, dan berdiam di Tebesaya.
Hentikan dahulu prihal I Gusti Ngurah Made sakti yang bertempat tinggal di Jenggala Bija
dan I Gusti Gde Tembuku yang ke Tebesaya.
Juga diceritakan prihal para putra Arya Bang Pinatih yang lain seperti putra I Gusti Made
Pahang di Tulikup, yang sulung bernama I Gusti Putu Pahang pindah dari desa Tulikup
menuju desa yang kemudian bernama Jagapati, I Gusti Made Pahang masih bertempat
tinggal di Tulikup, I Gusti Nyoman Pahang kembali ke wilayah Pahang, I Gusti Ngurah
Ketut Pahang pindah ke desa Selat. I Gusti Kaja Kauh pindah menuju wilayah Bebalang,
Bangli disambut disana oleh sanak saudara dari Arya Bang Wayabiya.
Di Tulikup, para putra Ki Arya Bang Pinatih menguasai tempat dan kemudian membangun
sthana Pamerajan masing ? masing, seperti para putra I gusti Bona, I Gusti Benculuk, I Gusti
Sampalan, I Gusti Pandak, I Gusti Nangun, I Gusti Berasan, I Gusti Meranggi, I Gusti
Sayan, I Gusti Bedulu, I Gusti Nunung, I Gusti Kandel, dan I Gusti Kutri.
Kemudian ada juga yang bertempat tinggal di Kembengan, yakni I Gusti Tegal, I Gusti
Sukawati, I Gusti Arak Api, I Gusti Julingan putra I Gusti Kandel, I Gusti Kembengan, I
Gusti Manggis, I Gusti Pelagaan. Juga masing ? masing membangun Pamerajan.
Ada lagu yang mengungsi ke wilayah Siut, bernama I Gusti Nyoman Natih, putranya
berdiam di Banjar Bias, ada di Karang Dadi serta di Gerombongan.
Demkian dahulu.
Kembali diceritakan kedatangan Ida Kyai Naglurah Pinatih di hadapan Dalem kemudian
mempermaklumkan prihal kedatangan Cokorda Panji dari Nyalian. Ida Dalem berkata
bahwa tidak sekali ? kali memrintahkan Kyai Anglurah Agung Pinatih agar datang
menghadap, sehingga disimpulkan bahwa hal itu merupakan tipu muslihat Cokorda Panji,
agar Kyai Anglurah Agung Pinatih meninggalkan wilayah uruk Mangandang. Lama beliau
berdiam, berpikir, dan mungkin sudah ada dalam pikiran beliau, dan agar tidak menjdai
bibit yang tidak baik, agar tetap bhakti masing ? masing sejak dahulu kala. Sejak berkuasanya
leluhur Dalem dahulu ? sejak pemerintahan Ida Dalem Kresna Kepakisa, Kriyan Pinatih
memang disayang di Puri menjadi demung. Kemudian Ida dalem berkeinginan memnuhi
keinginan kedua belah pihak : Cokorda Panji ingin memperluas wilayahnya agar
memperoleh rahayu; Kyai Pinatih juga agar tetap bhaktinya seperti yang dilakukan para
leluhrunya yakni para Kriyan Pinatih yang sudah wafat, juga agar mendapatkan keselamatan.
Kyai Anglurah Pinatih kemudian diminta untuk sementara tinggal di Puri Agung, tidak
diperkenankan kembali ke Tulikup, diminta untuk mendampingi beliau Ida Dalem.
Diceritakan tidak lama Cokorda Nyalian memegang wilayah Tulikup kemudian diserang
oleh raja Gianyar.
Demikian dahulu.
Diberi Tempat Di Bukit Mekar Menjadi Desa Sulang
Singkat ceritera, Ida Dalem mengdakan utusan untuk mencari tempat tinggal bagi Kyai
Pinatih, di perbatasan wilayah Klungkung dan Karangasem bernama Bukit Mekar.
Walaupun tempat itu sempit, atas perintah Dalem, Ida I Gusti Anglurah Agung Pinatih Rsi
kemudian bertempat tinggal disana diiringi oleh putra sanak saudara. Rakyat semuanya
mengiringi. Tempat itu kemudian diberi nama desa Sulang.
Sedangkan di Bukit Mekar, beliau pertama kali mengukur tempat untuk Pamerajan, tempat
Puri, mengukur tempat untuk Kahyangan Tiga serta tempat kuburan dan rumah tempat
tinggal rakyatnya semua.
Setelah sesak di Bukit Mekar, diberikan lagi tempat di perbatasan Klungkung dan
Karangasem yang bernama Tegal Ening, dekat dengan desa Lebu Cegeng di tepi Sungai
Unda yang sudah dikuasai I Gusti Dauh Talibeng. Disana rakyat Kriyan Pinatih ada
sebagian membangun rumah serta panyungsungan Puseh Bale Agung, wilayah itu kemudian
dinamai Banjar Mincidan. Penuh sesak di banjar Mincidan, kemudian diberi tempat lagi di
tepi Sungai Unda yang bernama Tegal Genuk, yang kemudian diberi nama Banjar
Gerombongan. Dari Banjar Gerombongan, karena sesak diberikan tempat di perbatasan
Semara Pura tepi selatan, tempat warga Pande yang diajak dari Madura, tempat itu bernama
Banjar Galiran. Dari Banjar Galiran, karena sesak, yang diberikan lagi tempat di Kusamba,
dekat dengan Banjar Sangging, kemudian ada yang berada di pesisir pantai Kusamba yang
bernama Karang Dadi.
Kemudian ada diceritakan para putra Ki Arya Bang Pinatih yang kemudian mengikuti
penuanya. Berkeinginan untuk menghadap ke Puri Dalem lalu berdiam di Banjarangkan,
serta mmembuat panyawangan kawitan diberi nama Pura Lung Atad. Kemudian ada yang
beralih mencari tempat di tempat Sungai Bubuh bernama tempat itu Basang Alu,
membangun Pamerajan diberi nama menurut nama masing – masing. Pura di Lung Atad
dituntun ke Basang Alu, berganti naman menjadi Pura Sari Bang.
Diceritakan lagi I Gusti Jimbaran pindah dari Tulikup menuju desa Getakan, berdiam
disana disayang oleh Cokorda Bakas. Inggih demikian hentikan dahulu keadaan para putra
yang terpencar tempat tinggalnya.
Kyai Anglurah Made Sakti Di Jenggala Bija
Diceritakan sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah
tempat dari desa Tulikup menuju Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap dengan
bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai
menantu di wilayah Mambal.
Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya
sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.
Kyai Ngurah Made Sakti benar – benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra,
serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara
semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon -
Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan – Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made
melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa
Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan -
akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di
tempat itu, layaknya sebagai bun – pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri
tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali
perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki
timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira – kira ada 80 depa, kemudian ada sabda
terdengar dari angkasa :
“Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa
maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah
Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun.
Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun.
Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu
denga kapur – diberikan tanda silang – tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke
Puri.
Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian
memberitahukan kepada perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan
menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata :
“Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas
hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”.
Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti
Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu.
Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat
semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian,
kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Disana dibuang
sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian.
Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian,
prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti
Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian,
sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan
rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian,
kemudian dihentikan dengan senjata.
Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada
Gusti mereka, karena itu segera didengar olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar
Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya.
Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya
untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria.
Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya,
membawa senjata bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri
Pangumpian. Sangat ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya
banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang
mati dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti
Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah
Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang – orang di Pangumpian kalah
kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan.
Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba serta Blumbungan,
Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi
gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu ceritera di Bun Pangumpian.
Diceritakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti
Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti
Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal
peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah
dari Hyang Maha Kuasa.
Berkata Cokorda :
“Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat
patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama
wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai
putra bernama Ida Wayan Abian. Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta
menantu oleh Kyai Ngurah Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga
berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun
serta juga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I
Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300
orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah.
Diceritakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat
senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu
bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura – pura serta dipakai
peringatan di kelak kemudian hari.
Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya
bernama I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta
terakhir bernama I Gusti Ketut Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan,
diamping ada yang wanita.
Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba -
tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun,
sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan
Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara
dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi
peduli pada kelebihan orang lain.
Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan
dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I
Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di
Beranjingan.
Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh
pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah Beranjingan, semua
keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Disanalah
kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat
Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah
Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri
semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana
serba putih, sedia akan mati di medan laga.
Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun,
serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan,
berdiri di depan pinti Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti
Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang,
sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil
mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam
di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh
rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija?
Beranjingan batal meninggal di medan perang tempat itu kemudian dinamai Jagapati.
Sesudah lama berdiam disana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija
Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing – masing
adalah I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti
Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti
Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di
Moncos diiringi rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran.
Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak -
balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu
Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I Gusti Anom
Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama
anaknya I Gusti Leking.
Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta
banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah
Kaba – Kaba kemudian ke Lodsawah.
Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh
kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang membantah perintah beliau, karena sudah juga
bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung
Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana,
digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu.
Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made
Munggu. I Gusti Agung Mayun menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun.
Demikian dahulu keadaan di Mengwi.
Puri Bun Diserang Oleh Mengwi
Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara
- kekacauan, dan ternyata marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak
menyerang I Dewa Karang yang ada di Puri Mambal.
Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau berbincang dengan ipar beliau di Puri
Bun. Setelah selesai bertukar pikiran, maka kembali pulang dengan tidak merasa sak
wasangka lagi. Singkat ceritera, pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak
mengitari. Puri Mambal sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda
Mayun. Setelah dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian
keluar ke depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan
Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun. Karena itu I
Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah – tengah mereka. Menjadi
takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang yang hilang tidak ada di
puri, karena sudah diungsikan – diamankan oleh pasukan Bun. Itu sebabnya pulanglah
pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian mencari saudaranya yang berdiam di
Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama I Dewa Bata.
Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun,
yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun.
Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat
Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila
saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun.
Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya sudah berangkat menuju puri Bun.
Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai Ngerurah kemudian memukul kentongan
bertalu – talu, serentak rakyatnya semua laki maupun perempuan membawa senjata. Disana
kemudian berkecamuklah perang itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak
saling ejek, saling tantang, saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama – sama tidak
mengenal mana kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun.
Tak dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat,
dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah Cokorda
Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang masih hidup,
kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made Munggu, adik Ida
Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti Agung Made Munggu,
seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk menyerang Anglurah Bun.
Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan Mengwi seraya membawa
senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan. Kesimpulan
pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai pimpinan pasukan I Gusti
Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung Jlantik dari Penarungan, serta dari
utara, bala pasukan disana mengiringi I Gusti Agung Made Munggu.
Dari Taensiat Ke Nagari
Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri
Mengwi, jelas akan mendatangkan bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi
jelas akan kalah. Kemudian beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk
meninggalkan puri, mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil,
serta rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti
Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas.
Setibanya di Badung kemudian menuju Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun
serta Banjar Ambengan. Ada yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang,
Paguyangan. Ada yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke
Tagtag Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi
pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu.
Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena semua penduduk disana mengungsi ke wilayah
Badung, maka keadaan disana menjadi sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya
pasukan Mengwi ditempat itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun
serta milik rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan juga
ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali. Jenazah Cokorda
Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian diambil dibawa pulang
ke Mengwi.
Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di taensiat, para putra beliau sekarang ada yang
pindah ke desa – desa lainnya, seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun
Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem,
bertempat tinggal di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada
putranya 3 orang, yang sulung I Gusti Teja – namanya sama dengan ayahnya, di Dawan
Banjar, I Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian
berpuri di Taensiat. Demikian dahulu.
Diceritakan I Dewa Karang berpuri di Banjar Tegal, beliau senang melakukan
persembahyangan, disana di Dalem Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang
Hyang Widhi, beliau mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita
I Dewa Karang, sangat percaya diri di hatinya.
Karena itu beliau bermaksud untuk mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat,
agar turut serta berpuri di Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah
Made Bun, demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua
dengan membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti
Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian
diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat tinggalnya
kemudian menuju desa Kengetan.
Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha,
ditantang oleh I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding.
Akhirnya seperti keder hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya
serentak membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung.
Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa
Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made
Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua.
Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar
membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai
wilayah Negara. I? Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari.
I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka
berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I
Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita.
Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata yang pernah menjadi pendeta atau
Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari wilayah Bun, diikuti oleh putra serta
isteri menuju desa Kutri, sewilayah dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di
Kutris diberikan kepada Ida Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam
pariagem.
Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah Made Bun di Negari semua sudah diandalkan
oleh I Dewa Karang yang berkuasa di Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling
sulung bernama I Gusti Ngurah Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I
Gusti Anom Angkrah di Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I
Gusti Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari.
Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing – masing. Demikian keadaannya.
Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis,
memberi perintah kepada I Dewa Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi
pengokoh wilayah Gianyar, paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan
perbincangan itu agar putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang
memamng keturunan Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200
orang. Demikian dicatat di Pariagem.
Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki keturunan yang bernama mangurah Guwa dan
Mangurah campida. Keduanya, ketika masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada
di lingkunga Ida Dalem. Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi
huru – hara, maka sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur
perjalanannya, serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan
dinamai Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan
Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah Guwa.
Diceritakan pula di kemudian hari mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa,
ada yang pindah ke desa Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang
meninggalkan desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa
Penida.
Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan Mangurah Campida.

Tidak ada komentar: